31/03/09

PARADOKSAL MISTIK DALAM PERADABAN ISLAM

Oleh : H.A. Azim

Fenomena dukun cilik Ponari yang melakukan praktek pengobatan dengan batu ajaibnya, mendapat reaksi beragam dari berbagai kalangan. Kalangan sosiolog menganggap fenomena itu sebagai salah satu bentuk refleksi kemiskinan masyarakat. Bahwa biaya berobat ke rumah sakit dan ke dokter praktek dinilai terlalu tinggi, sehingga masyarakat memilih pengobatan alternatif ala dukun Ponari. Sementara dari Komisi HAM Anak, Kak Seto, mengecamnya sebagai upaya mengekploerasi anak untuk mendapatkan keuntungan materi. Sudah mencapai milyaran rupiyah duit yang terkumpul dari para pasiennya. Belum lagi besarnya uang beredar yang ikut dinikmati oleh masyarakat sekitarnya.
Dari sisi berbeda, fenomena dukun Ponari itu juga merupakan refleksi betapa masih kuatnya ”budaya mistik” dalam kehidupan masyarakat pada abad yang diklaim sebagai peradaban modern ini. Kata mistik, sebagaimana kata misteri, berasal dari kata kerja Yunani : musein yang punya arti menutup mata dan mulut. Tidak keliru jika Anda memaknainya sesuatu yang gelap dan rahasia, dimana akal dan logika tertutup. terhadap kaedah sebab dan akibat. Mistik punya arti sama dengan jin yang berasal dari kata Arab yang bermakna tersembunyi (tidak terlihat). Meski punya arti sama, antara mistik dan jin tetap dipahami sebagai dua hal berbeda. Jin adalah mahluk gaib. Sedangkan mistik dipahami sebagai ritual kebatinan dengan tujuan memperoleh daya magis tertentu. Benda-benda yang diyakini berdaya magis, bangunan kuno dan berbagai hal atau kejadian yang bersifat irrasional lainnya juga masuk dalam katagori mistik.
Dalam pandangan Islam, mistik masuk dalam katagori perbuatan sirik. Dosa besar yang takterampuni karena nyata merusak aqidah keimnan tentang ke-Esa’an Alloh SWT. Karenanya, fenomena dukun Ponari segera disikapi pihak Majlis Ulama Indonesia (MUI) . Ketua MUI Jombang, KH. Abdul Kholik, dalam tausiahnya, menasehati puluhan ribu pasien Ponari agar meluruskan niat. Praktek dukun Ponori ini hanyalah sebuah proses (ihtiar) sedangkan yang menyembuhkan adalah Alloh SWT. Jangan sampai ada (pasien) yang beranggapan bahwa yang menyembuhkan mereka adalah sang batu ajaib milik Ponari. Anggapan atau niatan seperti ini menyalahi aqidah Islam yang tergolong sirik.
Upaya mengenyahkan mistik dari peradaban Umat Islam, sejak awal menjadi sebuah tantangan berat karena sifat mistik yang paradoks. Di satu sisi diharamkan oleh syari’ah Islam. Tetapi di sisi lain tak dapat ditimggalkan atas alasan kemaslahatan, sebagaimana dalam kasus praktek dukun Ponari.
Mistik sama paradoksnya dengan anjing. Dalam konteks teologi (Islam), anjing yang dikenal dengan nama kitmir pernah memainkan peran yang amat simpatik. Waktu itu ia menjadi penjaga setia mulut sebuah gua, tempat beberapa pemuda bersembunyi selama lebih dari tiga ratus tahun. Para pemuda tersebut bersembunyi dalam rangka menghindar dari raja yang zalim. Peristiwa ini diabadikan dalam lembaran Kitab Suci Al-Qur’an pada Surat Al-Kahfi. Bahwa kemudian anjing adalah mahluk haram (Nakjis mughallazah), agaknya sudah menjadi fitrah penciptaannya. Meski demikian, anjing selamanya menjaga integritasnya yang berkarakter setia pada tuannya. Dalam penanganan kasus pelacakan jejak penjahat yang dikejar aparat keamanan, peran anjing tak pernah tergantikan oleh peralatan apapun. Demikian pula dalam hal evakuasi korban tanah lonsor, anjing tetap mendapat simpati atas perannya sebagai penentu letak korban yang tertimbun di dalam tanah longsor. Itu dapat dilakukan karena anugrah berupa daya indra pencium yang sangat tajam dan fisik yang kuat pada mahluk satu ini.
Paradoksal anjing itu terjadi pada mistik. Pada mulanya mistik dipahami dalam konteks teologi Islam. Ini dapat ditelisik pada kisah Nabi Musa ketika berhadapan dengan para tukang sihir Raja Firaun. Dalam kejadian itu, Nabi Musa melempar tongkat lalu berubah menjadi ular besar atas kehendak dan kekuasaan Alloh SWT. Sedangkan ular-ular kecil adalah hasil permainan para tukang sihir. Ular besar milik Musa kemudian menelan habis semua ular kecil milik para tukang sihir. Peristiwa yang menjadi salah satu mukjizat Nabi Musa ini merupakan fenomena mistis dalam kontek teologi Islam. Dalam konteks sama, dikenal pula peristiwa mistis yang dilakoni oleh kaum sufi dan para waliyulloh, seperti Wali Songo. Mereka juga mengalami fenomena mistis atas karomah (kemuliaan) yang diberikan karena kedekatannya pada Alloh SWT. Dalam konteks teologi ini, mistik selalu dipahami secara positif. Sebab, peran mistik menjadi bagian dari upaya syi’ar Islam. Jadi, peristiwa mistik, baik mukjizat atau kekeramatan wali, selalau ditunjukkan kepada ummat untuk dipahami sebagai tanda atau bukti kekuasaan Alloh SWT. Tujuannya untuk menambah keimanan dan ketakwaan kehadirat Alloh SWT.
Dalam perkembangan berikutnya, perjalanan mistik berubah arah ke ranah kultur sehingga menjadi sesuatu yang universal. Mistik pun dapat dilakoni oleh semua orang tanpa kenal status. Budaya mistik kemudian merambah ke berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dari sini kemudian dikenal ilmu perdukunan, ilmu supra natural untuk (katanya) kepentingan kemaslahtan. Karenannya, dikalim sebagai ilmu putih. Sedangkan ilmu sihir disebut ilmu hitam atau black magik alias santet, bak ular berbisa yang bergerak secara rahasia untuk menjalankan misi jahat. Praktek ”hitam-putih” mistik ini membuat mistik jadi paradoks. Dengan begitu, mistik sulit terhindarkan menjadi bagian rangka yang ikut menopang bangunan peradaban Islam. Jelas saja membuat wajah peradaban Islam tampak ”bopeng” alias kotor. Jelas saja selamanya ”bopeng” jika kita tidak membersihkannya. ***

0 komentar: