31/03/09

MELIHAT HAJI DENGAN KAMERA SPIRITUAL

Oleh ; h.a. azim

Alkisah, pada zaman Rasululloh SAW ada seorang shaleh bernama Hatim al-Ahsan. Ia adalah keluarga miskin yang memiliki banyak tanggungan anak. Sekalipun keadaannya demikian, ia tetap tawakkal kepada Alloh SWT.
Suatu ketika rasa rindu untuk menunaikan ibadah haji sudah tak tertahan. Ia kemukakan niatnya itu kepada istri dan anak-anaknya. “Bagaiaman pendapat kalian ?”, Jelas saja ini menjadi sebuah kontroversi, di kalangan keluarganya. Istrinya mengatakan, “Pikirkankanlah hal itu secara matang”. Sementara Anaknya yang sulung, berkata lantang, “Bagaimana mungkin, sedangkan kondisi kita kayak begini miskin. Boro-boro mau berhaji, untuk makan saja susah”. Terjadi kontroversi dan perdebatan hebat dalam keluarga miskin ini. Tiba-tiba anak perempuannya yang paling kecil berpendapat lain, ” Mengapa kalian tidak mengizinkannya? Jangan kalian pikirkan masalah (kemiskinan) itu! Biarkan ayah pergi berhaji. Sebab , ia hanya menyalurkan rezeki, bukan pemberi reziki.”
Hatim pun berangkat menuju Baitullah (Ka’bah). Sementara itu, tetangga dan kaum kerabatnya mendatangi dan mencelanya, kenapa mereka sampai membolehkan Hatim berangkat menunaikan ibadah haji ? Anak-anaknya yang sulung pun mulai menyalahkan adiknya,” Coba seandainya kamu diam saja pada waktu ayah mengemukakan niatnya itu!”
Si Putri kecil menengadahkan pandangannya ke langit seraya bermunajat, “ Ya Allah, Rabb Pelindungku! Engkau telah menganugerahkan karunia-Mu kepada suatu kaum dan Engkau tidak menyia-nyiakan mereka. Karena itu, jangan Engkau buat keluargaku (kecewa), dan jangan Engkau permalukan aku di hadapan mereka!”
Ketika mereka berada dalam kegalauan itu, sang pemimpin negeri keluar untuk berburu. Akan tetapi, ia terpisah dari iring-iringan pasukannya. Ketika itu, ia merasa sangat haus. Akhirnya sang pemimpin negeri tersebut segera menghampiri rumah orang shaleh, Hatim Al-Asham. Iapun mengetuk pintu dan meminta minum.
Keluarga bertanya, “Siapa itu ?” Ia menjawab, ”Sang Amir, pemimpin negeri ini berada di depan pintu kalian untuk meminta minum !”
Istri Hatim pun menengadah wajah ke langit seraya berkata, ”Ya Alloh, Rabb-ku yang Maha Suci, semalam kami dalam keadaan lapar, namun sekarang amir kami berada di pintu meminta minum kepada kami.”
Ia pun mengambil mangkok baru dan mengisinya dengan air, seraya berkata, ”Maafkan kami !”. Sang amir pun mengambil mangkok tersebut dan meminumnya. Ia merasakan kenikmatan dari minuman tersebut, hingga rasa hausnya sirna seketika.
Kemudian ia bertanya, apakah rumah ini milik seorang gubernur ? Keluaraga ini menjawab, “Demi Alloh, Rumah ini hanya milik seorang hamba yang shaleh, yakni Hatim-Al-Ahsan.”
Pada saat itu, para pengawal dan pasukannya berhasil menyusulnya ke tempat tersebut. Di antaranya adalah Sang Menteri.
Sang Menteri pun bercerita, “ Tuanku, semalam saya mendengar bahwa pemilik rumah ini telah berangkat untuk menunaikan ibadah haji. Ia berangkat begitu saja tanpa meninggalkan apa pun untuk keluarganya. Saya juga mendapat kabar bahwa semalaman mereka lalui dalam keadaan lapar.”
Sang Amir berkata , ”pada hari ini kita juga telah merepotkan dan menyusahkan mereka. Ini bukan sikap yang perwira.” Kemudian Sang Amir melempaskan sabuknya (yang berisi kepingan-kepingan uang) dan melemparkannya ke dalam rumah ini.
Ia berkata kepada para pengikutnya, ”Siapa yang mencintai saya hendakya melemparkan sabuknya kepada kelurga ini”.
Kemudian Sang Menteri mengucapkan salam kepada mereka, ”Assalamualaikum, wahai penghuni rumah ! Saya akan membayar harga sabuk ini kepada kalian agar dapat mengambilnya kembali.”
Tatkala putri kecil itu melihat kejadian tersebut, ia menangis sejadi-jadinya. Keluarganya pun bertanya,” Mengapa kamu menangis ? Seharusnya kamu senang karena Alloh telah menganugrahkan karunia-Nya kepada kita.” Lantas, putri kecil itu menjawab, ”Demi Alloh, wahai Ibu ! Saya menangis karena semalam kita tidur dalam keadaan lapar, lalu hari ini Alloh memberikan kecukupan kepada kita”.
Iktibar dari cerita itu, bahwa keberangkatan tiap-tiap hamba untuk berhaji semata-semata untuk memenuhi panggilan Alloh SWT. Menjadi urusan Alloh SWT pula tentang bagaimana memberangkatannya ke Tanah Suci Mekah al-Mukarromah . Itu sebabnya, tak masalah bahwa hamba itu kaya atau miskin. Jika memang saatnya mendapat panggilan Alloh SWT, ia pun mesti berangkat. Sebagaimana Anda lihat di sekitar kita, para jama’ah haji, terdiri atas orang kaya, para pejabat tinggi juga dari kalangan kaum miskin; si tukang penjahit kasur keliling, si penjaga SD, si tukang sapu jalan (petugas kebersihan) dan lain sebagainya. Terhadap hamba yang belum mendapat panggilan untuk berhaji, fakta juga sama. Sungguh pada yang demikian terdapat tanda-tanda kekuasaan Alloh SWT. Tanda-tanda kekuasaan Alloh SWT tersebut terkadang hanya dapat dilihat oleh hamba yang dikaruniai kecerdasan spiritual, suatu kemampuan sampai menembus dinding batas akal dalam memahami gejala kekuasaan Alloh yang terdapat pada alam dan manusia, seperti pada peristiwa haji. Maha Suci Alloh atas tiap-tiap sesuatu yang diciptakan-Nya. ***

0 komentar: