31/03/09

PARADOKSAL MISTIK DALAM PERADABAN ISLAM

Oleh : H.A. Azim

Fenomena dukun cilik Ponari yang melakukan praktek pengobatan dengan batu ajaibnya, mendapat reaksi beragam dari berbagai kalangan. Kalangan sosiolog menganggap fenomena itu sebagai salah satu bentuk refleksi kemiskinan masyarakat. Bahwa biaya berobat ke rumah sakit dan ke dokter praktek dinilai terlalu tinggi, sehingga masyarakat memilih pengobatan alternatif ala dukun Ponari. Sementara dari Komisi HAM Anak, Kak Seto, mengecamnya sebagai upaya mengekploerasi anak untuk mendapatkan keuntungan materi. Sudah mencapai milyaran rupiyah duit yang terkumpul dari para pasiennya. Belum lagi besarnya uang beredar yang ikut dinikmati oleh masyarakat sekitarnya.
Dari sisi berbeda, fenomena dukun Ponari itu juga merupakan refleksi betapa masih kuatnya ”budaya mistik” dalam kehidupan masyarakat pada abad yang diklaim sebagai peradaban modern ini. Kata mistik, sebagaimana kata misteri, berasal dari kata kerja Yunani : musein yang punya arti menutup mata dan mulut. Tidak keliru jika Anda memaknainya sesuatu yang gelap dan rahasia, dimana akal dan logika tertutup. terhadap kaedah sebab dan akibat. Mistik punya arti sama dengan jin yang berasal dari kata Arab yang bermakna tersembunyi (tidak terlihat). Meski punya arti sama, antara mistik dan jin tetap dipahami sebagai dua hal berbeda. Jin adalah mahluk gaib. Sedangkan mistik dipahami sebagai ritual kebatinan dengan tujuan memperoleh daya magis tertentu. Benda-benda yang diyakini berdaya magis, bangunan kuno dan berbagai hal atau kejadian yang bersifat irrasional lainnya juga masuk dalam katagori mistik.
Dalam pandangan Islam, mistik masuk dalam katagori perbuatan sirik. Dosa besar yang takterampuni karena nyata merusak aqidah keimnan tentang ke-Esa’an Alloh SWT. Karenanya, fenomena dukun Ponari segera disikapi pihak Majlis Ulama Indonesia (MUI) . Ketua MUI Jombang, KH. Abdul Kholik, dalam tausiahnya, menasehati puluhan ribu pasien Ponari agar meluruskan niat. Praktek dukun Ponori ini hanyalah sebuah proses (ihtiar) sedangkan yang menyembuhkan adalah Alloh SWT. Jangan sampai ada (pasien) yang beranggapan bahwa yang menyembuhkan mereka adalah sang batu ajaib milik Ponari. Anggapan atau niatan seperti ini menyalahi aqidah Islam yang tergolong sirik.
Upaya mengenyahkan mistik dari peradaban Umat Islam, sejak awal menjadi sebuah tantangan berat karena sifat mistik yang paradoks. Di satu sisi diharamkan oleh syari’ah Islam. Tetapi di sisi lain tak dapat ditimggalkan atas alasan kemaslahatan, sebagaimana dalam kasus praktek dukun Ponari.
Mistik sama paradoksnya dengan anjing. Dalam konteks teologi (Islam), anjing yang dikenal dengan nama kitmir pernah memainkan peran yang amat simpatik. Waktu itu ia menjadi penjaga setia mulut sebuah gua, tempat beberapa pemuda bersembunyi selama lebih dari tiga ratus tahun. Para pemuda tersebut bersembunyi dalam rangka menghindar dari raja yang zalim. Peristiwa ini diabadikan dalam lembaran Kitab Suci Al-Qur’an pada Surat Al-Kahfi. Bahwa kemudian anjing adalah mahluk haram (Nakjis mughallazah), agaknya sudah menjadi fitrah penciptaannya. Meski demikian, anjing selamanya menjaga integritasnya yang berkarakter setia pada tuannya. Dalam penanganan kasus pelacakan jejak penjahat yang dikejar aparat keamanan, peran anjing tak pernah tergantikan oleh peralatan apapun. Demikian pula dalam hal evakuasi korban tanah lonsor, anjing tetap mendapat simpati atas perannya sebagai penentu letak korban yang tertimbun di dalam tanah longsor. Itu dapat dilakukan karena anugrah berupa daya indra pencium yang sangat tajam dan fisik yang kuat pada mahluk satu ini.
Paradoksal anjing itu terjadi pada mistik. Pada mulanya mistik dipahami dalam konteks teologi Islam. Ini dapat ditelisik pada kisah Nabi Musa ketika berhadapan dengan para tukang sihir Raja Firaun. Dalam kejadian itu, Nabi Musa melempar tongkat lalu berubah menjadi ular besar atas kehendak dan kekuasaan Alloh SWT. Sedangkan ular-ular kecil adalah hasil permainan para tukang sihir. Ular besar milik Musa kemudian menelan habis semua ular kecil milik para tukang sihir. Peristiwa yang menjadi salah satu mukjizat Nabi Musa ini merupakan fenomena mistis dalam kontek teologi Islam. Dalam konteks sama, dikenal pula peristiwa mistis yang dilakoni oleh kaum sufi dan para waliyulloh, seperti Wali Songo. Mereka juga mengalami fenomena mistis atas karomah (kemuliaan) yang diberikan karena kedekatannya pada Alloh SWT. Dalam konteks teologi ini, mistik selalu dipahami secara positif. Sebab, peran mistik menjadi bagian dari upaya syi’ar Islam. Jadi, peristiwa mistik, baik mukjizat atau kekeramatan wali, selalau ditunjukkan kepada ummat untuk dipahami sebagai tanda atau bukti kekuasaan Alloh SWT. Tujuannya untuk menambah keimanan dan ketakwaan kehadirat Alloh SWT.
Dalam perkembangan berikutnya, perjalanan mistik berubah arah ke ranah kultur sehingga menjadi sesuatu yang universal. Mistik pun dapat dilakoni oleh semua orang tanpa kenal status. Budaya mistik kemudian merambah ke berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dari sini kemudian dikenal ilmu perdukunan, ilmu supra natural untuk (katanya) kepentingan kemaslahtan. Karenannya, dikalim sebagai ilmu putih. Sedangkan ilmu sihir disebut ilmu hitam atau black magik alias santet, bak ular berbisa yang bergerak secara rahasia untuk menjalankan misi jahat. Praktek ”hitam-putih” mistik ini membuat mistik jadi paradoks. Dengan begitu, mistik sulit terhindarkan menjadi bagian rangka yang ikut menopang bangunan peradaban Islam. Jelas saja membuat wajah peradaban Islam tampak ”bopeng” alias kotor. Jelas saja selamanya ”bopeng” jika kita tidak membersihkannya. ***

MELIHAT HAJI DENGAN KAMERA SPIRITUAL

Oleh ; h.a. azim

Alkisah, pada zaman Rasululloh SAW ada seorang shaleh bernama Hatim al-Ahsan. Ia adalah keluarga miskin yang memiliki banyak tanggungan anak. Sekalipun keadaannya demikian, ia tetap tawakkal kepada Alloh SWT.
Suatu ketika rasa rindu untuk menunaikan ibadah haji sudah tak tertahan. Ia kemukakan niatnya itu kepada istri dan anak-anaknya. “Bagaiaman pendapat kalian ?”, Jelas saja ini menjadi sebuah kontroversi, di kalangan keluarganya. Istrinya mengatakan, “Pikirkankanlah hal itu secara matang”. Sementara Anaknya yang sulung, berkata lantang, “Bagaimana mungkin, sedangkan kondisi kita kayak begini miskin. Boro-boro mau berhaji, untuk makan saja susah”. Terjadi kontroversi dan perdebatan hebat dalam keluarga miskin ini. Tiba-tiba anak perempuannya yang paling kecil berpendapat lain, ” Mengapa kalian tidak mengizinkannya? Jangan kalian pikirkan masalah (kemiskinan) itu! Biarkan ayah pergi berhaji. Sebab , ia hanya menyalurkan rezeki, bukan pemberi reziki.”
Hatim pun berangkat menuju Baitullah (Ka’bah). Sementara itu, tetangga dan kaum kerabatnya mendatangi dan mencelanya, kenapa mereka sampai membolehkan Hatim berangkat menunaikan ibadah haji ? Anak-anaknya yang sulung pun mulai menyalahkan adiknya,” Coba seandainya kamu diam saja pada waktu ayah mengemukakan niatnya itu!”
Si Putri kecil menengadahkan pandangannya ke langit seraya bermunajat, “ Ya Allah, Rabb Pelindungku! Engkau telah menganugerahkan karunia-Mu kepada suatu kaum dan Engkau tidak menyia-nyiakan mereka. Karena itu, jangan Engkau buat keluargaku (kecewa), dan jangan Engkau permalukan aku di hadapan mereka!”
Ketika mereka berada dalam kegalauan itu, sang pemimpin negeri keluar untuk berburu. Akan tetapi, ia terpisah dari iring-iringan pasukannya. Ketika itu, ia merasa sangat haus. Akhirnya sang pemimpin negeri tersebut segera menghampiri rumah orang shaleh, Hatim Al-Asham. Iapun mengetuk pintu dan meminta minum.
Keluarga bertanya, “Siapa itu ?” Ia menjawab, ”Sang Amir, pemimpin negeri ini berada di depan pintu kalian untuk meminta minum !”
Istri Hatim pun menengadah wajah ke langit seraya berkata, ”Ya Alloh, Rabb-ku yang Maha Suci, semalam kami dalam keadaan lapar, namun sekarang amir kami berada di pintu meminta minum kepada kami.”
Ia pun mengambil mangkok baru dan mengisinya dengan air, seraya berkata, ”Maafkan kami !”. Sang amir pun mengambil mangkok tersebut dan meminumnya. Ia merasakan kenikmatan dari minuman tersebut, hingga rasa hausnya sirna seketika.
Kemudian ia bertanya, apakah rumah ini milik seorang gubernur ? Keluaraga ini menjawab, “Demi Alloh, Rumah ini hanya milik seorang hamba yang shaleh, yakni Hatim-Al-Ahsan.”
Pada saat itu, para pengawal dan pasukannya berhasil menyusulnya ke tempat tersebut. Di antaranya adalah Sang Menteri.
Sang Menteri pun bercerita, “ Tuanku, semalam saya mendengar bahwa pemilik rumah ini telah berangkat untuk menunaikan ibadah haji. Ia berangkat begitu saja tanpa meninggalkan apa pun untuk keluarganya. Saya juga mendapat kabar bahwa semalaman mereka lalui dalam keadaan lapar.”
Sang Amir berkata , ”pada hari ini kita juga telah merepotkan dan menyusahkan mereka. Ini bukan sikap yang perwira.” Kemudian Sang Amir melempaskan sabuknya (yang berisi kepingan-kepingan uang) dan melemparkannya ke dalam rumah ini.
Ia berkata kepada para pengikutnya, ”Siapa yang mencintai saya hendakya melemparkan sabuknya kepada kelurga ini”.
Kemudian Sang Menteri mengucapkan salam kepada mereka, ”Assalamualaikum, wahai penghuni rumah ! Saya akan membayar harga sabuk ini kepada kalian agar dapat mengambilnya kembali.”
Tatkala putri kecil itu melihat kejadian tersebut, ia menangis sejadi-jadinya. Keluarganya pun bertanya,” Mengapa kamu menangis ? Seharusnya kamu senang karena Alloh telah menganugrahkan karunia-Nya kepada kita.” Lantas, putri kecil itu menjawab, ”Demi Alloh, wahai Ibu ! Saya menangis karena semalam kita tidur dalam keadaan lapar, lalu hari ini Alloh memberikan kecukupan kepada kita”.
Iktibar dari cerita itu, bahwa keberangkatan tiap-tiap hamba untuk berhaji semata-semata untuk memenuhi panggilan Alloh SWT. Menjadi urusan Alloh SWT pula tentang bagaimana memberangkatannya ke Tanah Suci Mekah al-Mukarromah . Itu sebabnya, tak masalah bahwa hamba itu kaya atau miskin. Jika memang saatnya mendapat panggilan Alloh SWT, ia pun mesti berangkat. Sebagaimana Anda lihat di sekitar kita, para jama’ah haji, terdiri atas orang kaya, para pejabat tinggi juga dari kalangan kaum miskin; si tukang penjahit kasur keliling, si penjaga SD, si tukang sapu jalan (petugas kebersihan) dan lain sebagainya. Terhadap hamba yang belum mendapat panggilan untuk berhaji, fakta juga sama. Sungguh pada yang demikian terdapat tanda-tanda kekuasaan Alloh SWT. Tanda-tanda kekuasaan Alloh SWT tersebut terkadang hanya dapat dilihat oleh hamba yang dikaruniai kecerdasan spiritual, suatu kemampuan sampai menembus dinding batas akal dalam memahami gejala kekuasaan Alloh yang terdapat pada alam dan manusia, seperti pada peristiwa haji. Maha Suci Alloh atas tiap-tiap sesuatu yang diciptakan-Nya. ***

30/03/09

Bila Jaohari Tinggalkan Intan

Oleh: H.A. Azim

Jika saja Anda adalah seorang yang sangat ahli dan trampil pada perhiasan intan, maka Andalah sang jaohari itu. Inilah nama “kehormatan” bagi seorang tukang intan. Sama seperti sebutan pujangga untuk seorang sastrawan. Hanya mereka yang benar-benar ahli dan trampil pada perhiasan intan yang berhak disebut jaohari. Hanya jaohari yang paling mengenal struktur unsur pembentuk intan. Karenanya, hanya jaohari yang paling tahu, bagaimana cara menjadikan intan untuk sebuah perhiasan dengan nilai estetika bermutu tinggi. Lantas, apa jadinya jika jaohari meninggalkan (profesi) intan ? Apa jadinya jika intan ditangani oleh orang yang bukan ahlinya ? Pastilah menghasilkan perhiasan intan bermutu jelek. Pastilah menimbulkan kegusaran bagi kalangan penikmat (pemakai) perhiasan intan..
Fenomena jaohari meninggalkan intan adalah sebuah ungkapan sebagai sindirin atas suatu kondisi sosial, dimana tertdapat (tokoh) masyarakat beralih profesi. Suatu kondisi, dimana terjadi perubahan terhadap stigma. Sebut saja ”kasus” yang tak henti menjadi sorotan publik. Apa ? Adanya kiyai (tokoh agama) meninggalkan masjid, meninggalkan pesantren dan meninggalkan majlis taklim. Jamaah pun jadi seperti anak ayam kehilangan induknya. Kebingungan ! Bila jamaah menanyakan, dimana keberadaan kiyainya, boleh jadi jawabnya ”ada di gedung mewah” (baca: menduduki jabatan politis di lembaga eksekutif dan legislatif).
Fenomena kiyai meninggalkan pesantren sebenarnya bukanlah sebuah pilihan, tapi sebuah konsekuensi atas keadaan. Bahwa sistem politik dan Islam moderat yang dianut negara kita, menjadi dua faktor utama bagi tumbuh-kembang beragam partai berbasis Islam. Keberadaan beragam partai Islam ini dengan sendirinya menjadi ”rahim subur” bagi lahirnya sejumlah politisi (berpredikat) kiyai. Kehadiran kiyai di lembaga eksekutif dan legislatif menjadi niscaya sebagai representasi umat Islam untuk ikut membangun negeri tercinta. Agaknya, ini menjadi taqdir lain yang harus diterima para kiyai. Akibatnya, stigma tentang kiyai, suka atau tidak, akhirnya harus berubah. Kiyai tak lagi menjadi sosok manusia berjubah atau orang sarungan yang selalu berkopiyah. Kini, dalam menjalankan profesi ”kantoran”, harus mematuhi segala peraturan, termasuk etika berpakaian. Di situ kiyai melepas jubah lalu harus mengenakan celana dan sepatu mengkilap. Inilah ”dunia baru” para politisi kiyai. Di situ mereka tidak lagi muzakkarah soal isi kitab kuning (kitab gundul tak berbaris), tapi berdebat soal anggaran dan berdebat tentang tetek–bengek perkara duniawi lainnya. Di situ tak (banyak) kesempatan membaca dan mengkaji isi Al-Qur’an, melainkan harus membaca seabrek aturan dan koran. Sebuah dunia yang sama sekali beda dengan habitat sebelumnya.
Kesempatan untuk menyambangi jamaah mungkin hanya dapat dilakukan pada masa reses (kegiatan lapangan dalam rangka menghimpun aspirasi rakyat). Manakala memberikan ceramah (pengajian), suara politisi kiyai akan terdengar streotif. Di telinga kanan Anda akan mendengar ayat dan hadits sedangkan di telinga kiri Anda akan mendengar seruan untuk tetap loyal terhadap partai milik kiyai. Celakanya, sebagaimana Anda tahu, masing-masing kiyai membela partai yang berbeda. Hasilnya, nuansa kehidupan beragama masyarakat menjadi terkotak-kotak, jika tak hendak mengatakannya terpecah-belah alias berantakan. Jadilah hidup ini hancur berkeping-keping, bak kaca jendela terkena lemparan batu. Dalam situasi begini, kita jadi amat merindukan sosok para tabi’in masa lampau yang memiliki integritas kepribadian demikian kuat. Sebutlah, Imam Hanafi atau Imam Abu Hanifah. Beliau terkenal akan ke’aliman dan keshalihannya, sampai Imam Syafi’i berguru kepadanya. Beliau juga sangat ahli di bidang ilmu terapan yang amat berguna bagi kehdupan umat. Beliau memperkenalkan cara mengolah tanah liat menjadi cetakan batu-bata (batako) untuk bahan konstruksi bangunan yang jauh lebih kuat. Beliau selalu jadi rujukan dalam membuat fatwa terhadap upaya pemecahan berbagai persoalan sosial yang bersentuhan dengan aqidah Islam. Untuk ini, pemerintah (kerajaan) yang berkuasa saat itu sempat memaksa beliau agar memperkuat jajaran pemerintahan. Tapi, Imam Abu Hanifah menolak. Ini dilakukan hanya karena alasan integritas kepribadian. Sampai dipenjara, disiksa dan dihukum mati pun beliau tak pernah menerima penawaran tersebut Ini terjadi pada Dinasti Abassiah masa khalifah al-Mansur pada abad ke tujuh mashi atau tahun ke delapan puluh hijrah Nabi Muhammad saw.
Integritas kepribadian Imam Hanafi itu adalah seperti jaohari yang tetap setia pada intan. Dengan begitu, sinar perhiasan senantiasa memancarkan kilau indah dan menjadikan sang pemakainya tampil elegan. Adakah semua kiyai zaman kini memiliki integritas kepribadian seperti ini ? Jika Anda berandai seperti itu, jadilah burung kungguk sang perindu bulan. ***

29/03/09

Sang Penakluk Nabi

Oleh: h.a. azim

“Tahukah,kmu (orang) yang mendustakan agama itu ?
itulah orang yang menghardik (menelantarkan) anak yatim
dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin ”
( QS, Al Maa’uun- 107 : ayat 1 - 3)

Kegembiraan anak-anak dari kalangan orang tua berpunya pada Hari Lebaran, dengan sifat kekanakannya, selalu saja ditampakkan dengan sikap dan tingkah pamer berlebih atas pakaiannya yang serba baru. Sedangkan bagi anak yatim dan fakir-miskin acap menunbjukkan keadaan sebaliknya. Anak-anak kurang beruntung ini menjadi minder kemudian menyisihkan diri dari arena bermain antar sesamanya. Fakta ini ada di seputar kita. Baginda Rasululloh SAW pun tak luput dari kesaksian atas fakta itu.
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a, suatu ketika Rasululloh SAW keluar rumah menuju tanah lapang untuk melakukan Shalat Id, beliau melihat sekumpulan anak berpakaian serba baru tengah asyik bermain. Ada yang berjingkak-jingkak, sementara yang lainnya bernyanyi sambil bertepuk tangan. Tentu saja pemandangan ini amat menyenangkan hati Rasululloh SAW. Tapi, kesenangan beliau mendadak terhenti ketika pandangan matanya tertuju pada salah seorang anak lelaki kecil berpakaian compang-camping yang hanya duduk berpangku tangan seraya menangis berurai air mata. Rasululloh SAW kemudian mendekatinya. “Hai nak, kenapa kau menangis dan tidak ikut bermain bersama mereka ?. Bukankah mereka itu temanmu ?”
Anak itu sama sekali tidak tahu kalau yang bertanya Rasululloh SAW, maka tanpa beban dan polos saja ia berkata : “Hai laki-laki, ayahku telah gugur di hadapan Rasul Alloh dalam sebuah peperangan. Lalu, ibuku kawin lagi dan memakan semua harta peninggalan ayahku. Suaminya kemudian mengusirku dari rumahku sendiri. Kini aku tidak lagi punya siapa-siapa yang menyayangiku. Tidak lagi punya rumah tempat berteduh dari panas dan hujan. Tidak lagi punya pakaian, makanan dan minuman. Maka pada hari raya ini, ketika aku melihat anak-anak lain yang masih mempunyai ayah, aku merasakan betapa sedihnya tiada berbapak. Itu sebabnya aku menangis”.
Entah bagaimana cara anak yatim ini mengemukakan semua itu, sehingga hati Rasululloh SAW menjadi “luluh dan takluk”. Maka dipegangnya tangan anak itu seraya bersabda : “Hai anakku, sudikah kau bila aku yang menjadi ayahmu, sedang ‘Aisyah menjadi ibumu, Ali pamanmu, Al-Hasan dan Al-Husain saudara-saudaramu dan Fatimah saudari perempuanmu ?” Mendengar itu, barulah anak ini sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan orang termulia, Rasululloh SAW, maka iapun tersenyum seraya berkata haru : “Mengapakah aku tak sudi ya Rasul Alloh ?”
Selanjutnya, anak yatim itu dibawa oleh Rasululloh SAW ke rumahnya. Tak lama berselang, kemudian anak itu keluar lagi dalam keadaan perut kenyang dan berpakain bagus. Tentu saja dengan perasaan sangat bahagia, sebagaimana anak-anak sepermainannya ketika itu.
Menjadikan cerita itu sebagai bahan perenungan tentang kehidupan manusia, tidak ada yang salah terhadap fitrah penciptaannnya. Anda tak pernah dapat membayangkan manusia tercipta dalam keadaan kaya semuanya, sebagaimana Anda tak dapat menemukan dataran bumi ini dalam keadaan merata seluruhnya. Fitrah penciptaan seperti itu mengandung hikmah besar. Lihatlah tatkala air laut terangkat ke angkasa-raya kemudian dicurahkan dari kandungan awan ke permukaan bumi, maka dataran rendah berfungsi (lewat sungai-sungai) memeratakan air ke bagian lain yang tak terkena hujan lalu mengembalikan sisa air bumi ke laut. Begitulah fenomena elaborasi alam dalam rangka menjalankan misi ilahiyah bagi kemaslahatan ummat manusia.
Begitu pula soal taqdir ummat manusia dalam keadaan sebagiannya kaya dan sebagiannya lagi miskin, pun sudah menjadi fitrah penciptaannya. Bukankah Alloh SWT menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan antara dua keadaan yang saling berbalik ? Itulah hukum kekekalan sebagai ketetapan taqdir dari Alloh SWT. Oleh karenanya, jika Anda pernah mendengar dari mulut manusia berucap (apalagi janji politik) ingin memberantas habis kemiskinan, Anda boleh menganggapnya hanya sedang bergurau atau mengigau dari tidur nyenyak. Atau, anggap saja itu semacam iklan tv yang menjanjikan imajinasi dan mimpi indah, padahal kenyataannya bohong.
Sebagaimana keberadaan dataran rendah dan dataran tinggi yang sama-sama berperan dalam sebuah sistem (hukum) alam, seperti itulah dapat dilihat akan hikmah keberadaan kaum miskin dan kaum kaya dalam sebuah sistem sosial. Hans kelsen, ahli filsafat hukum, menyebut sistem sosial itu sebagai hukum kodrat atau hukum murni dari Tuhan, yang menjelaskan adanya hubungan holistic, dimana antara satu sama lainnya ada hubungan saling ketergantungan. Menurut teori ini, tidak masalah bahwa orang itu kaya atau miskin. Terpenting keberadaan kedua belah pihak (kaum kaya dan kaum miskin) masing-masing (sesuai keadaan dan profesi) saling menunjang dalam mencapai tujuan (memenuhi kebutuhan). Bahwa setiap bentuk keberahsilan yang diraih, termasuk kekayaan, tidak pernah dapat diperoleh tanpa melibatkan orang (pihak) lain, sebagaimana tidak bisa mendapat durian runtuh ketika tidur di atas ranjang dalam rumah. Inilah yang menyadarkan bahwa di dalam kekayaan harta, ada sebagian hak yang wajib diberikan kepada yang berhak menerimanya, antara lain, anak yatim dan kaum fakir-miskin dalam bentuk zakat pada Ramadhan, dilanjutkan dengan sunnah infak dan sadqah pada hari lain.
Dari segi bahasa, zakat terambil dari akar kata (arab) “azkaa” yang berarti : Bertambah. Kebenaran terhadap pemaknaan ini menjadi terang-benderang manakala dilihat melalui “lensa iman” dalam persfektif kepentingan (kekayaan) ukhrowi. Sedangkan dalam terminologi syari’ah, zakat bermakna : Suatu ketentuan (fardu ‘ain) yang wajib dilaksanakan oleh tiap-tiap orang islam untuk menyucikan atau membersihkan (badan dan harta) dari dosa. Makna ini mesti dipahami sebagai satu mata rantai yang terangkai erat menjadi satu-kesatuan dalam lima Rukun Islam. Jadi, ketika seorang muslim mulai meletakkan pondasi keislamannya dengan dua kalimat syahadat, maka ia harus membangun agamanya dengan empat elemen konstruksi bangunan secara lengkap, meliputi shalat, puasa ramadhan, zakat (fitrah dan mal) serta haji (bagi yang mampu). Bila meninggalkan elemen zakat untuk membangun keislaman, pasti berdirinya jadi rapuh dan tidak kokoh. Karenanya, ia patut merasa takut terhadap ancaman bagi ambruknya bangunan keislamannya. Suatu ketika Umar bin Khattab pernah lupa menunaikan pembayaran zakat fitrah. Sebagai gantinya, ia memerdekakan satu orang budak. Ketika hal ini diadukan kepada Rasululluh SAW, ternyata ia mendapat teguran (peringatan) keras dengan sabda beliau : “Hai umar, biarpun engkau memerdekakan seratus orang budak, tetapi tetap belum dapat menandingi besarnya kemanfaatan (pahala) membayar zakat sebelum pelaksanaan Shalat Id”. Mendengar ini, sungguh Umar merasa amat bersalah dan terpukul atas kekhilapannya itu. Pantaslah, Rasululluh SAW merasa sangat iba (klarifikasi kata “takluk”) atas penderitaan seorang anak yatim, sehingga mengangkat(mengambil)-nya menjadi anaknya, yang dikasih-sayangi sebagaimana Siti Fatimah, putrinya. . Suritauladan seperti ini, memberi pelajaran berharga bagi kita, bahwa puasa Ramadhan yang membawa kepada derajat taqwa, mesti diaktualisasi tidak hanya pada kesalehan ibadah ubudiyah, melainkan diimbangi pula dengan kesalehan sosial berupa kedermawan harta, agar jangan pernah menghardik (menelantarkan) anak yatim dan kaum miskin, agar jangan pernah termasuk dalam golongan orang-orang yang mendustakan agama. Perilaku dermawan adalah bagian dari esensi silaturrahmi yang akan membawa kepada persaudaraan dan perdamaian antar umat manusia. Semoga. ***