30/03/09

Bila Jaohari Tinggalkan Intan

Oleh: H.A. Azim

Jika saja Anda adalah seorang yang sangat ahli dan trampil pada perhiasan intan, maka Andalah sang jaohari itu. Inilah nama “kehormatan” bagi seorang tukang intan. Sama seperti sebutan pujangga untuk seorang sastrawan. Hanya mereka yang benar-benar ahli dan trampil pada perhiasan intan yang berhak disebut jaohari. Hanya jaohari yang paling mengenal struktur unsur pembentuk intan. Karenanya, hanya jaohari yang paling tahu, bagaimana cara menjadikan intan untuk sebuah perhiasan dengan nilai estetika bermutu tinggi. Lantas, apa jadinya jika jaohari meninggalkan (profesi) intan ? Apa jadinya jika intan ditangani oleh orang yang bukan ahlinya ? Pastilah menghasilkan perhiasan intan bermutu jelek. Pastilah menimbulkan kegusaran bagi kalangan penikmat (pemakai) perhiasan intan..
Fenomena jaohari meninggalkan intan adalah sebuah ungkapan sebagai sindirin atas suatu kondisi sosial, dimana tertdapat (tokoh) masyarakat beralih profesi. Suatu kondisi, dimana terjadi perubahan terhadap stigma. Sebut saja ”kasus” yang tak henti menjadi sorotan publik. Apa ? Adanya kiyai (tokoh agama) meninggalkan masjid, meninggalkan pesantren dan meninggalkan majlis taklim. Jamaah pun jadi seperti anak ayam kehilangan induknya. Kebingungan ! Bila jamaah menanyakan, dimana keberadaan kiyainya, boleh jadi jawabnya ”ada di gedung mewah” (baca: menduduki jabatan politis di lembaga eksekutif dan legislatif).
Fenomena kiyai meninggalkan pesantren sebenarnya bukanlah sebuah pilihan, tapi sebuah konsekuensi atas keadaan. Bahwa sistem politik dan Islam moderat yang dianut negara kita, menjadi dua faktor utama bagi tumbuh-kembang beragam partai berbasis Islam. Keberadaan beragam partai Islam ini dengan sendirinya menjadi ”rahim subur” bagi lahirnya sejumlah politisi (berpredikat) kiyai. Kehadiran kiyai di lembaga eksekutif dan legislatif menjadi niscaya sebagai representasi umat Islam untuk ikut membangun negeri tercinta. Agaknya, ini menjadi taqdir lain yang harus diterima para kiyai. Akibatnya, stigma tentang kiyai, suka atau tidak, akhirnya harus berubah. Kiyai tak lagi menjadi sosok manusia berjubah atau orang sarungan yang selalu berkopiyah. Kini, dalam menjalankan profesi ”kantoran”, harus mematuhi segala peraturan, termasuk etika berpakaian. Di situ kiyai melepas jubah lalu harus mengenakan celana dan sepatu mengkilap. Inilah ”dunia baru” para politisi kiyai. Di situ mereka tidak lagi muzakkarah soal isi kitab kuning (kitab gundul tak berbaris), tapi berdebat soal anggaran dan berdebat tentang tetek–bengek perkara duniawi lainnya. Di situ tak (banyak) kesempatan membaca dan mengkaji isi Al-Qur’an, melainkan harus membaca seabrek aturan dan koran. Sebuah dunia yang sama sekali beda dengan habitat sebelumnya.
Kesempatan untuk menyambangi jamaah mungkin hanya dapat dilakukan pada masa reses (kegiatan lapangan dalam rangka menghimpun aspirasi rakyat). Manakala memberikan ceramah (pengajian), suara politisi kiyai akan terdengar streotif. Di telinga kanan Anda akan mendengar ayat dan hadits sedangkan di telinga kiri Anda akan mendengar seruan untuk tetap loyal terhadap partai milik kiyai. Celakanya, sebagaimana Anda tahu, masing-masing kiyai membela partai yang berbeda. Hasilnya, nuansa kehidupan beragama masyarakat menjadi terkotak-kotak, jika tak hendak mengatakannya terpecah-belah alias berantakan. Jadilah hidup ini hancur berkeping-keping, bak kaca jendela terkena lemparan batu. Dalam situasi begini, kita jadi amat merindukan sosok para tabi’in masa lampau yang memiliki integritas kepribadian demikian kuat. Sebutlah, Imam Hanafi atau Imam Abu Hanifah. Beliau terkenal akan ke’aliman dan keshalihannya, sampai Imam Syafi’i berguru kepadanya. Beliau juga sangat ahli di bidang ilmu terapan yang amat berguna bagi kehdupan umat. Beliau memperkenalkan cara mengolah tanah liat menjadi cetakan batu-bata (batako) untuk bahan konstruksi bangunan yang jauh lebih kuat. Beliau selalu jadi rujukan dalam membuat fatwa terhadap upaya pemecahan berbagai persoalan sosial yang bersentuhan dengan aqidah Islam. Untuk ini, pemerintah (kerajaan) yang berkuasa saat itu sempat memaksa beliau agar memperkuat jajaran pemerintahan. Tapi, Imam Abu Hanifah menolak. Ini dilakukan hanya karena alasan integritas kepribadian. Sampai dipenjara, disiksa dan dihukum mati pun beliau tak pernah menerima penawaran tersebut Ini terjadi pada Dinasti Abassiah masa khalifah al-Mansur pada abad ke tujuh mashi atau tahun ke delapan puluh hijrah Nabi Muhammad saw.
Integritas kepribadian Imam Hanafi itu adalah seperti jaohari yang tetap setia pada intan. Dengan begitu, sinar perhiasan senantiasa memancarkan kilau indah dan menjadikan sang pemakainya tampil elegan. Adakah semua kiyai zaman kini memiliki integritas kepribadian seperti ini ? Jika Anda berandai seperti itu, jadilah burung kungguk sang perindu bulan. ***

0 komentar: