29/03/09

Sang Penakluk Nabi

Oleh: h.a. azim

“Tahukah,kmu (orang) yang mendustakan agama itu ?
itulah orang yang menghardik (menelantarkan) anak yatim
dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin ”
( QS, Al Maa’uun- 107 : ayat 1 - 3)

Kegembiraan anak-anak dari kalangan orang tua berpunya pada Hari Lebaran, dengan sifat kekanakannya, selalu saja ditampakkan dengan sikap dan tingkah pamer berlebih atas pakaiannya yang serba baru. Sedangkan bagi anak yatim dan fakir-miskin acap menunbjukkan keadaan sebaliknya. Anak-anak kurang beruntung ini menjadi minder kemudian menyisihkan diri dari arena bermain antar sesamanya. Fakta ini ada di seputar kita. Baginda Rasululloh SAW pun tak luput dari kesaksian atas fakta itu.
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a, suatu ketika Rasululloh SAW keluar rumah menuju tanah lapang untuk melakukan Shalat Id, beliau melihat sekumpulan anak berpakaian serba baru tengah asyik bermain. Ada yang berjingkak-jingkak, sementara yang lainnya bernyanyi sambil bertepuk tangan. Tentu saja pemandangan ini amat menyenangkan hati Rasululloh SAW. Tapi, kesenangan beliau mendadak terhenti ketika pandangan matanya tertuju pada salah seorang anak lelaki kecil berpakaian compang-camping yang hanya duduk berpangku tangan seraya menangis berurai air mata. Rasululloh SAW kemudian mendekatinya. “Hai nak, kenapa kau menangis dan tidak ikut bermain bersama mereka ?. Bukankah mereka itu temanmu ?”
Anak itu sama sekali tidak tahu kalau yang bertanya Rasululloh SAW, maka tanpa beban dan polos saja ia berkata : “Hai laki-laki, ayahku telah gugur di hadapan Rasul Alloh dalam sebuah peperangan. Lalu, ibuku kawin lagi dan memakan semua harta peninggalan ayahku. Suaminya kemudian mengusirku dari rumahku sendiri. Kini aku tidak lagi punya siapa-siapa yang menyayangiku. Tidak lagi punya rumah tempat berteduh dari panas dan hujan. Tidak lagi punya pakaian, makanan dan minuman. Maka pada hari raya ini, ketika aku melihat anak-anak lain yang masih mempunyai ayah, aku merasakan betapa sedihnya tiada berbapak. Itu sebabnya aku menangis”.
Entah bagaimana cara anak yatim ini mengemukakan semua itu, sehingga hati Rasululloh SAW menjadi “luluh dan takluk”. Maka dipegangnya tangan anak itu seraya bersabda : “Hai anakku, sudikah kau bila aku yang menjadi ayahmu, sedang ‘Aisyah menjadi ibumu, Ali pamanmu, Al-Hasan dan Al-Husain saudara-saudaramu dan Fatimah saudari perempuanmu ?” Mendengar itu, barulah anak ini sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan orang termulia, Rasululloh SAW, maka iapun tersenyum seraya berkata haru : “Mengapakah aku tak sudi ya Rasul Alloh ?”
Selanjutnya, anak yatim itu dibawa oleh Rasululloh SAW ke rumahnya. Tak lama berselang, kemudian anak itu keluar lagi dalam keadaan perut kenyang dan berpakain bagus. Tentu saja dengan perasaan sangat bahagia, sebagaimana anak-anak sepermainannya ketika itu.
Menjadikan cerita itu sebagai bahan perenungan tentang kehidupan manusia, tidak ada yang salah terhadap fitrah penciptaannnya. Anda tak pernah dapat membayangkan manusia tercipta dalam keadaan kaya semuanya, sebagaimana Anda tak dapat menemukan dataran bumi ini dalam keadaan merata seluruhnya. Fitrah penciptaan seperti itu mengandung hikmah besar. Lihatlah tatkala air laut terangkat ke angkasa-raya kemudian dicurahkan dari kandungan awan ke permukaan bumi, maka dataran rendah berfungsi (lewat sungai-sungai) memeratakan air ke bagian lain yang tak terkena hujan lalu mengembalikan sisa air bumi ke laut. Begitulah fenomena elaborasi alam dalam rangka menjalankan misi ilahiyah bagi kemaslahatan ummat manusia.
Begitu pula soal taqdir ummat manusia dalam keadaan sebagiannya kaya dan sebagiannya lagi miskin, pun sudah menjadi fitrah penciptaannya. Bukankah Alloh SWT menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan antara dua keadaan yang saling berbalik ? Itulah hukum kekekalan sebagai ketetapan taqdir dari Alloh SWT. Oleh karenanya, jika Anda pernah mendengar dari mulut manusia berucap (apalagi janji politik) ingin memberantas habis kemiskinan, Anda boleh menganggapnya hanya sedang bergurau atau mengigau dari tidur nyenyak. Atau, anggap saja itu semacam iklan tv yang menjanjikan imajinasi dan mimpi indah, padahal kenyataannya bohong.
Sebagaimana keberadaan dataran rendah dan dataran tinggi yang sama-sama berperan dalam sebuah sistem (hukum) alam, seperti itulah dapat dilihat akan hikmah keberadaan kaum miskin dan kaum kaya dalam sebuah sistem sosial. Hans kelsen, ahli filsafat hukum, menyebut sistem sosial itu sebagai hukum kodrat atau hukum murni dari Tuhan, yang menjelaskan adanya hubungan holistic, dimana antara satu sama lainnya ada hubungan saling ketergantungan. Menurut teori ini, tidak masalah bahwa orang itu kaya atau miskin. Terpenting keberadaan kedua belah pihak (kaum kaya dan kaum miskin) masing-masing (sesuai keadaan dan profesi) saling menunjang dalam mencapai tujuan (memenuhi kebutuhan). Bahwa setiap bentuk keberahsilan yang diraih, termasuk kekayaan, tidak pernah dapat diperoleh tanpa melibatkan orang (pihak) lain, sebagaimana tidak bisa mendapat durian runtuh ketika tidur di atas ranjang dalam rumah. Inilah yang menyadarkan bahwa di dalam kekayaan harta, ada sebagian hak yang wajib diberikan kepada yang berhak menerimanya, antara lain, anak yatim dan kaum fakir-miskin dalam bentuk zakat pada Ramadhan, dilanjutkan dengan sunnah infak dan sadqah pada hari lain.
Dari segi bahasa, zakat terambil dari akar kata (arab) “azkaa” yang berarti : Bertambah. Kebenaran terhadap pemaknaan ini menjadi terang-benderang manakala dilihat melalui “lensa iman” dalam persfektif kepentingan (kekayaan) ukhrowi. Sedangkan dalam terminologi syari’ah, zakat bermakna : Suatu ketentuan (fardu ‘ain) yang wajib dilaksanakan oleh tiap-tiap orang islam untuk menyucikan atau membersihkan (badan dan harta) dari dosa. Makna ini mesti dipahami sebagai satu mata rantai yang terangkai erat menjadi satu-kesatuan dalam lima Rukun Islam. Jadi, ketika seorang muslim mulai meletakkan pondasi keislamannya dengan dua kalimat syahadat, maka ia harus membangun agamanya dengan empat elemen konstruksi bangunan secara lengkap, meliputi shalat, puasa ramadhan, zakat (fitrah dan mal) serta haji (bagi yang mampu). Bila meninggalkan elemen zakat untuk membangun keislaman, pasti berdirinya jadi rapuh dan tidak kokoh. Karenanya, ia patut merasa takut terhadap ancaman bagi ambruknya bangunan keislamannya. Suatu ketika Umar bin Khattab pernah lupa menunaikan pembayaran zakat fitrah. Sebagai gantinya, ia memerdekakan satu orang budak. Ketika hal ini diadukan kepada Rasululluh SAW, ternyata ia mendapat teguran (peringatan) keras dengan sabda beliau : “Hai umar, biarpun engkau memerdekakan seratus orang budak, tetapi tetap belum dapat menandingi besarnya kemanfaatan (pahala) membayar zakat sebelum pelaksanaan Shalat Id”. Mendengar ini, sungguh Umar merasa amat bersalah dan terpukul atas kekhilapannya itu. Pantaslah, Rasululluh SAW merasa sangat iba (klarifikasi kata “takluk”) atas penderitaan seorang anak yatim, sehingga mengangkat(mengambil)-nya menjadi anaknya, yang dikasih-sayangi sebagaimana Siti Fatimah, putrinya. . Suritauladan seperti ini, memberi pelajaran berharga bagi kita, bahwa puasa Ramadhan yang membawa kepada derajat taqwa, mesti diaktualisasi tidak hanya pada kesalehan ibadah ubudiyah, melainkan diimbangi pula dengan kesalehan sosial berupa kedermawan harta, agar jangan pernah menghardik (menelantarkan) anak yatim dan kaum miskin, agar jangan pernah termasuk dalam golongan orang-orang yang mendustakan agama. Perilaku dermawan adalah bagian dari esensi silaturrahmi yang akan membawa kepada persaudaraan dan perdamaian antar umat manusia. Semoga. ***

0 komentar: